
SIDOARJO,Deteksimedia.com – Perseteruan antara Bupati Sidoarjo, H. Subandi, SH, M.Kn, dan Wakil Bupati (Wabup) Sidoarjo, Hj. Mimik Idayana, memasuki babak baru yang semakin memanas. Pemerhati politik Sidoarjo, Nanang Haromain, menyebut ruang rekonsiliasi semakin tertutup setelah perang pernyataan terbuka antara kedua kubu mencuat ke publik.
“Ruang rekonsiliasi kian tertutup setelah perang pernyataan terbuka antara dua kubu menyeruak ke ruang publik,” kata Nanang Haromain menanggapi dinamika politik yang kembali memanas, Senin (10/11/2025).
Hubungan Bupati Subandi dengan Wabup Mimik Idayana semakin memanas setelah beredarnya kabar pemeriksaan sejumlah pejabat di Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo pada Kamis (6/11/2025) lalu. Kabar tersebut dibantah langsung oleh Bupati Subandi, yang kemudian memicu reaksi balik dari kubu Wabup Mimik Idayana.
Nanang Haromain menilai bahwa publik sudah lama mengetahui ketidakharmonisan di antara dua pimpinan daerah tersebut. Namun, kali ini situasinya berbeda karena sudah menjadi perang statement terbuka.
“Kalau dulu hanya ramai di warung kopi, sekarang sudah jadi perang statement terbuka. Saling sindir, saling sentil,” katanya.
Nanang menilai fase ini semakin menutup peluang dialog dan memperkecil kemungkinan ‘rujuk politik’ antara dua orang yang disahkan sebagai pasangan Bupati-Wabup Sidoarjo periode 2025-2030. “Ibarat rumah tangga, ini sudah talak tiga,” ujarnya.
Meski demikian, Nanang mengajak publik Sidoarjo agar tidak tergesa-gesa menilai konflik ini secara negatif. “Politik yang terlalu rukun juga berbahaya, biarlah sedikit panas. Dari situ publik bisa melihat siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang hanya sedang bermain peran,” terangnya.
Nanang menambahkan bahwa situasi politik di Sidoarjo yang memanas seharusnya tidak langsung disebut krisis. “Kadang kebenaran memang lahir dari pertengkaran. Justru ini tanda sistem masih hidup,” tambahnya.
Lebih jauh, Nanang menilai karakter masyarakat Sidoarjo yang religius dan guyub juga punya sisi lain, yaitu sangat sensitif terhadap dinamika kekuasaan. “Dalam kultur seperti ini, konflik elite tidak berhenti di atas. Ia menjalar ke bawah, ke obrolan warga, bahkan ke dunia maya,” terangnya.
Dari sinilah muncul istilah ‘Korut’ dan ‘Korsel’, pelabelan yang ia sebut sebagai ‘mekanisme psikologi sosial’ untuk menandai polarisasi yang berkembang. “Fenomena ini bukan baru. Dulu kita punya istilah cebong–kampret, sekarang Sidoarjo punya versinya sendiri,” pungkasnya.
(Red)





Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.