JAKARTA, Deteksimedia.com 30 Oktober 2025 – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Putusan ini membuka jalan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri untuk menindak jaksa yang diduga terlibat tindak pidana tanpa harus mengantongi izin dari Jaksa Agung.

Dengan putusan ini, aparat penegak hukum seperti KPK dan Polri dapat melakukan upaya paksa seperti pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana, atau jika terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan jaksa sebagai tersangka tindak pidana berat, termasuk tindak pidana khusus seperti korupsi.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh Agus Setiawan (aktivis/mahasiswa), Sulaiman (advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani. Putusan dengan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 dibacakan dalam sidang pleno di Gedung I MK, Jakarta, Kamis (16/10/2025) yang dipimpin langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo.

Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Pemohon I dan II. MK menilai Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai memuat pengecualian bagi jaksa yang tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat. Pasal 8 ayat (5) kini berbunyi:

“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.”

MK juga menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta penjelasannya dalam UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan bahwa perlindungan hukum terhadap aparat penegak hukum memang diperlukan, namun tidak boleh meniadakan prinsip persamaan di hadapan hukum atau equality before the law. Menurutnya, ketentuan yang mewajibkan izin Jaksa Agung berpotensi menimbulkan perlakuan istimewa yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan di hadapan hukum.

Meskipun demikian, putusan ini diwarnai dissenting opinion dari dua hakim konstitusi, Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah, yang berpendapat seharusnya MK menolak permohonan para pemohon. Mereka menilai Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan tidak dimaksudkan sebagai bentuk imunitas, melainkan mekanisme perlindungan bagi jaksa dalam menjalankan tugasnya.

(Red)